Samsul Arifin

Dan kopi tak pernah memilih siapa yang layak menikmatinya. karna dihadapan kopi kita semua sama.

Jumat, 01 September 2017

MENGENAL DAN MENELADANI KH.ABU DZARRIN (Adnan) KENDAL BOJONEGORO KIYAI NYA PARA KIYAI

MENGENAL DAN MENELADANI KH.ABU DZARRIN (Adnan) KENDAL BOJONEGORO KIYAI NYA PARA KIYAI
-=Republik Ngopi=-


“KH. Abu Dzarrin lahir pada tanggal 12 Shafar 1316 H. yang bertepatan dengan tahun 1898 M. di Desa Sukorejo, Bojonegoro, Jawa Timur. 

Dari garis ayah KH. Abu Dzarrin memiliki silsilah dengan Mbah Haji Umar bin Adiman bin Sanding Ibn binti Walinoyorono, yang kesohor dengan nama kiai Bedug, Jati Karas Sedan Rembang Walinoyorono, merupakan salah satu muridnya Sunan Cantrik, Babakan Lasem. Sedangkan Sunan Cantrik adalah murid Sayyid Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Adapun dari pihak sang ibu, KH. Abu Dzarrin beribukan Nyai Habibah binti Mbah Haji Ali bin Mbah Gati binti Singojoyo bin Eyang Buyut Singonoyo, salah seorang penyebar agama Islam di daerah Bojonegoro.

KH. Abu Dzarrin adalah putra pertama dari lima bersaudara, yaitu : Abu Dzarrin, Bakri, Bakrun, Badrun dan Sahilah. 
***

Setelah KH. Abu Dzarrin berkelana ke banyak pesantren dan ulama yang berada di Jawa Timur dan sekitarnya, pada tahun 1923 beliau menikah dengan seorang wanita shalehah bernama Nyai Asmanah binti Haji Ridlwan. Kala itu beliau berumur 30 tahun sedangkan istri beliau berumur 14 tahun. 

Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai 12 anak, yaitu: 1. Nyai Nafisah (Istri Kiai Chozin, ayah dari KH Muhajir pendiri PP. Al-Kuzi), 2. KHM. Dimyathi Adnan (Pengasuh PP. Abu Dzarrin sejak tahun 1958 hingga 1990), 3. KH. Ahmad Munir Adnan (Pengasuh PP. Abu Dzarrin sejak tahun 1990 hingga 2002 dan seorang mursyid Thoriqoh Qodiriyyah Wan Naqsyabandiyah), 4. Nyai Mutqinah (istri KH. Masyhur pendiri PP. Al-Rosyid) 5. KHM. Ma’mun Adnan (Pendiri PP. Al-Asmanah), 6. Muhammad Makin (wafat kecil), 7. KHM. Charish Adnan (pendiri PP. Adnan Al-Charish), 8. Muhammad Kamil (wafat kecil), 9. Naqiyah (wafat kecil), 10. Matinah, (wafat kecil), 11. Nyai Hj. Lu’lu’atul Fuad (istri KHM. Ali Syafi’i, pendiri PP. Abu Dzarrin Al-Ridlwan), 12. Nyai Hj. Barrotut Taqiyah (istri KH. Fathurrohman, pendiri PP. Sunan Bonang, Parengan, Tuban).
***

Kiai Abu Dzarrin dikenal dengan seorang yang haus akan ilmu. Semenjak usainya masih kecil, Kiai Abu Dzarrin berkelana dari satu kiai kepada kiai yang lainnya untuk menimba ilmu. Pada mulanya, tahun 1902 Kiai Abu Dzarrin mulai belajar kepada paman sekaligus ayah angkatnya sendiri, Kiai Mutholib yang berdomisili di Desa Sukorejo Bojonegoro, kurang lebih selama 7 tahun. Pada masa itu, beliau telah mengabdi dan belajar kepada Kiai Mutholib dengan telaten.

Kemudian pada tahun 1909 dengan  himmahnya yang kuat, Kiai Abu Dzarrin melanjutkan belajar kepada Mbah KH. Basyir. Seorang kiai yang juga sebagai pengulu di daerah Bojonegoro. Kiai Abu Dzarrin ngangsu ilmu pada KH. Basyir kurang lebih selama 4 tahun, yaitu dari tahun 1909 hingga tahun 1913. Yang kemudian Kiai Basyir menyuruh agar ia ikut  membantu mengajar di Madrasah Mamba’ul Ulum Bojonegoro. Namun Kiai Abu Dzarrin hanya dapat mambantu mangajar selama 6 bulan karena harus melanjutkan belajar lagi.

Merasa belum cukup dengan ilmu yang dikuasainya, Kiai Abu Dzarrin memperluas cakrawala keilmuan dengan berkelana di luar Bojonegoro. Selanjutnya belajar kepada Kiai Cholil Bangkalan Madura. Kepada Kiai ahli di bidang ilmu Nahwu Shorof dan yang terkenal dengan kewaliannya ini beliau belajar selama 3 tahun, yaitu sejak tahun 1913 sampai 1916. Dikatakan, hampir seluruh pesantren yang ada di Indonesia terutama di Jawa memiliki sanad sampai pada Mbah Kiai Cholil Bangkalan..

Setelah 3 tahun belajar Bangkalan, Kiai Abu Dzarrin kembali lagi ke tanah kelahirannya untuk membantu mengajar di Madrasah Mamba’ul Ulum Bojonegoro. Namun, hal itu beliau jalankan hanya selama 4 bulan. Yang kemudian beliau kembali mondok.

Masih pada tahun 1916, Kiai Abu Dzarrin nyantri kepada Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang. Kurang kebih selama setahun, Kiai Abu Dzarrin menyelami lautan ilmu pada kiai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ ini. Belajar pada Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari saat itu merupakan dambaan bagi hampir setiap santri. 

Pada tahun 1918 Kiai Abu Dzarrin melanjutkan belajar kepada Kiai Dahlan, ayahanda KH. Ihsan mu’allif  kitab Sirajut Thalibin  Syarh Minhajul Abidin. Waktu yang ditempuh beliau di Pesantren Jampes Kediri asuhan Kiai Dahlan ini hanya selama 3 bulan. Setelahnya, KH. Abu Dzarrin istifadatul ‘ilmi kepada seorang alim ternama, Kiai Manaf Abdul Karim, Lirboyo Kediri,  selama 4 bulan. Terhitung hanya 7 bulan Kiai Abu Dzarrin nyantri di Jampes dan Lirboyo.

Kemudian pada tahun 1918, usai mondok di Jampes dan Lirboyo, beliau belajar di Pesantren Maskumambang Gresik asuhan Kiai Abdul Faqih, selama  kurang lebih 6 bulan.

Pada tahun 1919, Kiai Abu Dzarrin berkelana kembali untuk berguru kepada seorang sufi nan alim, KH. Raden Dimyathi dan Syaikh Mahfudh, Tremas Pacitan. Di Tremas beliau mendalami ilmu kepada kedua ulama besar tersebut selama 6 tahun. 

Usai belajar di Tremas, ketika tahun 1923 beliau menikah dengan Nyai Asmanah binti Haji Ridlwan, Kendal. Sebagaimana tertera di depan. Walaupun telah menikah bukan berarti semangat belajar KH. Abu Dzarrin telah padam, bahkan semangat beliau makin berkobar untuk selalu belajar. Hal itu dibuktikan ketika tahun 1924 beliau menjalankan rukun Islam yang kelima, pergi ke Baaitullah al Haram untuk menunaikan haji. Namun demikian, Kiai Abu Dzarrin menyempatkan dirinya  untuk belajar pada ulama-ulama besar di sana. KH. Abu Dzarrin ini ternyata  juga seorang yang berprinsip “Sekali dayung, dua tiga pulau terengkuh”. Di tanah suci beliau mukim selama dua tahun, mulai 1924 sampai dengan 1926. Di sana, Kiai Abu Dzarrin belajar kepada Sayyid Abu  Bakar bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi, pengarang kitab I‘anatut Thalibin. Sepulang dari tanah suci, tahun 1926, Kiai Abu Dzarrin domisili di Kendal bersama istri dan ibu mertua putri (Mbah Nyai Asmanah). 
***

Sebagaimana layaknya kiai yang lain, Kiai Abu Dzarrin juga memiliki keistiqamahan dalam beberapa nadzifah. Kiai Abu Dzarrin semenjak umur delapan tahun hingga sepuh senantiasa melakukan puasa Senin dan Kamis kecuali ada udzur shahih. Bila mana ada udzur maka beliau menggantinya di hari yang lain. Dikatakan, puasa Senin Kamis ini telah menjadi kebiasaan Kiai Abu Dzarrin sehingga tatkala tak puasa, perut beliau terasa sakit.

KH. Abu Dzarrin juga sangat menekankan sholat berjamaah kepada diri sendiri, keluarga dan santri-santrinya. Menurutnya, sholat berjamaah merupakan salah satu tanda ilmu seseorang itu bermanfaat, sebagaimana  dawuh beliau ketika menganjurkan sholat berjamaah kepada para santrinya :

“Di antara tanda-tanda ilmu bermanfaat adalah sholat berjamaah, lebih-lebih sholat jamaah shubuh.”

KH. Abu Dzarrin juga merupakan orangtua yang sangat memperhatikan anak-anaknya, terutama dalam hal pendidikan. Ketika anaknya memasuki usia baligh beliau memanggil anaknya tersebut seraya berkata, “Wahai anakkku, kini engkau telah menginjak usia baligh. Sejak saat ini pula semua perbuatanmu menjadi tanggung jawabmu sendiri.” Setelah berkata demikian itu kemudian beliau memberikan mawaid agar anak-anaknya menjalankan kebaikan dan meniggalkan keburukan. 

KH. Abu Dzarrin juga seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tua dan guru. Di kala kecil beliau selalu membantu pekerjaan orang tua, seperti: mencari kayu bakar untuk masak, menyulam gedhek rumah dan segala pekerjaan rumah lainnya. Dengan beberapa pengalamannya di waktu kecil tersebutlah ketika telah menjadi kiai sesohor beliau tak gengsi melakukan pekerjaan yang remeh di mata manusia. Bersih-bersih halaman rumah, mencangkul, memperbaiki pagar, membuat sumur, membuat gapura masjid, menyulam baju dan menjahit sandal adalah hal yang biasa dilakukannya.

Sikap birrul walidain ini sangat nampak ketika beliau menjadi kiai di Kendal. Setiap hari Jum’at beliau istikomah ziarah ke pesarean orang tua dan guru-gurunya di Sukorejo dengan berjalan kaki. Kepada anak-anaknya yang belum baligh juga diajak ziarah kepada para leluhur guna mendidik mereka agar terbiasa mendoakan orang tua. Sebagai motivasi untuk anak-anaknya tersebut, KH. Abu Dzarrin memberikan hal yang menyenangkan kepada mereka berupa uang, makanan atau yang lainnya.
***

Dan di antara akhlaq mulia KH. Abu Dzarrin yang lain, beliau seorang yang tak mudah menyerah, ulet dan punya cita-cita besar. Dari Bojonegoro Kiai Abu Dzarrin berjalan kaki ketika berangkat mondok di Bangkalan, seraya membawa beras, kendil (alat menanak nasi) dan keperluan mondok lainnya. Dan lagi beliau mau menerima uang saku seadanya dari orang tua, yaitu sebanyak dua ringgit untuk selama nyantri di Bangkalan. Ketika uang sakunya hampir habis maka beliau mburoh ngliwet (menjadi buruh memasak), mencuci pakaian dan lainnya. Ringkasnya, beliau senang hidup mandiri, tak menjadi beban orang lain.

Di kala haji, KH. Abu Dzarrin berjalan kaki dari Makkah ke Madinah yang jauhnya + 486 km. Dalam waktu lima belas hari lima belas malam beliau melakukan perjalanan. Saat itu terjadi perang yang dikenal ‘Perang Wahabi’ maka untuk menghindari hal yang tak diinginkan beliau menyamar sebagai fakir miskin dengan mengenakan pakaian goni. Hal itu dilakukan semata-mata hanya karena ingin ziarah kepada Rasulullah Saw. Dan semasa di perjalanan tak ada sesuap makananpun yang beliau dapati kecuali buah Khondhil (buah yang sangat pahit, kalau orang Jawa menamakan Butrowali). Namun, alhamdulillah, karena rahmat Allah Swt, beliau dipertemukan dengan sekelompok orang Badwi yang mengasihinya yang akhirnya Kiai Abu Dzarrin selamat.

KH. Abu Dzarrin juga seorang yang qona’ah, sabar dan wira’i. Beliau mempunyai watak, segala sesuatu - baik itu remeh ataupun berharga, jelek ataupun bagus - bila bukan miliknya maka beliau tak berani memakai atau memakannya. Dalam mendidik putra-putrinya beliau sering kali dawuh: “Jangan sekali-kali memakai barang orang lain walaupun milik saudara kandungmu sendiri, sebab yang demikian itu amat tercela.”
Beliau orang yang istiqamah. Setiap hari Kamis usai dhuhur, Kiai Abu Dzarrin rutin mencukur rambut dengan tangannya sendiri dan nadhofah pada hal-hal yang lain, ittiba’ bisunnatir Rasul Saw. 

Dan beliau tak pernah melepas tutup kepala, terutama pada kondisi yang disunnahkan, seperti ketika sholat, ngaji, silaturrahim, buang air dan lainnya. Adapun tutup kepala yang biasa dipakai sebelum haji adalah udeng, dan sesudah haji yaitu kopyah putih. Hal ini dilakukannya hingga beliau wafat.

Dalam bergaul dengan sesama, KH. Abu Dzarrin senantiasa bersikap mengalah, tawadlu’ dan santun kepada siapapun. Dan setiap hari Jum’at usai ashar beliau senantiasa menyempatkan silaturrahim kepada sanak famili, tetangga dan santri-santrinya yang telah boyong dari pondok. Di lain waktu, bila ada sesama yang sakit tak bosan-bosannya beliau menjenguk. Begitu pula jikalau ada sesama yang meninggal dunia, beliau tak segan untuk ikut menyolati. Beliau juga selalu menghadiri undangan dari masyarakat, misalnya: walimatul haml, watimatul arusy dan lain sebagainya, terlebih acara maulid Rasulullah Saw.

Selain dikenal dengan seorang yang sosialnya tinggi, Kiai Abu Dzarrin juga salah seorang yang sangat benci dengan pergaulan bebas (campur bawur laki-laki perempuan) seperti yang marak di era ini. Kehati-hatiannya akan hal itu nampak tatkala masih hidup, setiap kali memberikan ceramah atau pengajian kepada kaum wanita beliau senantiasa berada di balik hijab.Demikian juga terhadap keluarga, beliau tak memberi kebebasan kepada istri dan putri-putrinya yang telah baligh keluar rumah ataupun menemui laki-laki yang bukan muhrimnya. 

Di sisi lain, KH. Abu Dzarrin tak pernah kecewa (ngersulo) terhadap pemberian Allah Swt, setiap masalah yang datang beliau hadapi dengan keteguhan hati dan ridlo. Misalnya, tatkala menjelang wafat beliau menyandang penyakit udunen (baca: bisul) yang tak kunjung sembuh hingga beliau dipanggil Allah Swt. Beliau tak pernah bercerita atas penyakitnya. Beliau tak ingin menyusahkan anggota keluarganya. Namun, penyakit yang disandangnya tersebut diketahui salah satu santri yang bernama Muhammad Ali Syafi'i (yang kemudian terkenal dengan KHM. Ali Syafi'i) yang setiap hari Selasa mencucikan pakaian KH. Abu Dzarrin. 

"Ojo mbok kandakno sopo-sopo, yen aku iki loro (Jangan kau beritahukan kepada siapapun kalau aku sedang sakit),” ujar beliau  ketika penyakitnya diketahui si santri tadi.

KH. Abu Dzarrin juga selalu bersikap bijaksana. Pada kesehariannya, di samping aktif membina santri-santri juga selalu memotivasi mereka agar senantiasa isytighal belajar dan mengesampingkan yang lainnya. Beliau sering dawuh; “santri yang istimewa adalah santri yang ketika pondok libur tak pulang kampung, tetap di pondok untuk belajar.” 

Dan beliau sering dawuh; "Mbesok zaman akhir waline Gusti Allah iku bocah pondok (kelak di zaman akhir wali-Nya Allah itu anak pondok)”. Tentunya yang dimaksud dengan anak pondok di atas adalah anak pondok yang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu.

Selain  memprioritaskan ngaji pada santri-santri, Kiai Abu Dzarrin juga menganggap penting pengamalan wirid. Adapun aurod yang  biasanya diijazahkan kepada para santri, antara lain: Dala'ilu Khoirot, aurod ba'dal maktubah al ma’tsuroh dan lainnya. Sedangkan kitab-kitab yang rutin dibacakan kepada santri sekaligus beliau jadikan thoriqoh di antaranya; Taqrib, dan Kifayatul 'Awam. Menurut beliau kedua kitab ini bila dibaca secara rutin - tiap khatam dimulai lagi, begitu seterusnya - berarti sudah menjalankan thoriqoh.

Dalam berbagai kesibukannya, Kiai Abu Dzarrin masih sempat mangabdikan diri pada Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebagaimana termaktub dalam bukunya Drs. H. Anas Yusuf yang berjudul “50 tahun NU Bojonegoro”, bahwa, hasil dari keputusan musyawarah yang dilakasanakan pada April 1954 terpilih para Pengurus NU Cabang Bojonegoro termasuk KH. Abu Dzarrin sebagai salah satu Rais Syuriah. Dan pada Oktober 1957 beliau bersama Pengurus NU Cabang Bojonegoro menghadiri pertemuan Kongres Jam’iyyah Ahlut Thoriqoh An-Nahdliyah di Magelang. Mereka yang hadir itu adalah KH. Abu Dzarrin, KH. Rahmat Zubair dan M. Dimyathi. Sejak saat itu pula jamaah thoriqoh di Bojonegoro secara organisasi mulai dikembangkan.12

KH. Abu Dzarrin juga sosok figur yang sangat menghargai waktu. Selain waktunya untuk beribadah dan mengajar santri, waktu yang lain juga dihabiskan untuk menulis. Banyak karya beliau yang berbentuk tulisan, antara lain: Tauhid Jawan (Tauhid),  Faroidl,  Jadwal Haidl, Rumuz A’immatil Fuqoha’ (Fiqih), Mabadin Nahwi, Jurumiyyah Tarjamah (3 jilid), Imrithi Tarjamah,  Alfiyah Tarjamah (Ilmu Alat), Jadwal Arudl dan Hisab, dan lain sebagainya.”
***

Lebih dari tiga puluh tahun KH. Abu Dzarrin berkiprah memperluaskan agama Allah Swt di Bojonegoro dan sekitarnya, terutama di Kendal. Alhamduillah, berkat perjuangan Mbah KH. Abu Dzarrin, kini Kendal menjadi kawasan multi pesantren yang juga terdapat beberapa jenjang pendidikan. Tak sedikit para siswa dan santri yang ngangsu  kaweruh  di Kendal guna memperdalam ilmu pengetahuan dan mengharap barokah dari para masyayikh Kendal.

Semua aktifitas perjuangan KH. Abu Dzarrin dalam Li’i’laa’i Kalimatillah  senantiasa didasari keikhlasan dan keistiqamahan sehingga beliau memenuhi panggilan Allah Swt pada hari Kamis Legi, 17 Dzulqo’dah 1378 H bertepatan dengan tanggal 5 Juni 1958 M. Jenazah beliau dimakamkan di Pemakaman Masyayikh Kendal. Semoga Allah Swt mengampuni segala dosa, menerima kebaikan beliau, dan meluaskan rahmat untuknya di alam barzakh. Serta kita semua mendapatkan limpahan keberkahan dari pada ilmu beliau. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. 

--------------------
Sumsel, 4 Desember 2015

Tahta yadi Al Faqir,
Muhsinin

2 komentar:

  1. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu

    BalasHapus
  2. Sands Casino Hotel & Spa | Singapore
    Discover the latest casino, slots, poker room, and gaming space in Singapore,Singapore. Featuring 2,716 slot machines and 70 table games, Sands offers 샌즈 카지노 게임 the latest

    BalasHapus

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html